Selasa, 18 Mei 2010

Kembali ke Pupuk Kandang

Budaya bertani organik sudah sejak lama ada di Kampung Bojong menteng, hal ini sangat berkaitan dengan teknik bertani tanpa menggunakan bahan-bahan penyubur dari luar termasuk pupuk ataupun pengendali hama yang mengandung zat-zat kimia. Pengalaman saya dalam bertani dimulai sejak berhenti dari pendidikan pesantren pada tahun delapan puluhan, walau sebatas melihat orang tua. Memasuki tahun 1995 saya mencoba memberanikan diri untuk bertani sendiri.

Modal untuk bertani awalnya didapat dari hasil menjual bambu untuk keperluan cara pesta Agustusan dimana bambu yang terjual mencapai lebih kurang 200 batang bambu. Hasil penjualan tersebut diuangkan dan didapat lebih kurang dua ratus ribu rupiah. Sehingga hasil tersebut dapat dijadikan modal utama.

Komoditi pertanian yang saya kembangkan adalah timun. Mulai dari mencari bibit, ngored, mencangkul sampai pemeliharaan serta mendapatkan hasil panen saya lakukan sendiri tanpa memakai tenaga kerja khusus. Tetapi teknik yang dikuasai masih terbatas baik dalam pengolahan lahan maupun penghitungan hasil tani. Pada awal bertani tersebut penyubur tanah yang saya gunakan terbatas pada pupuk kandang dari kotoran kambing ataupun ayam. Dalam mengendalikan hama terbatas menggunakan bahan-bahan sederhana seperti abu kayu bakar atau tanaman-tanaman yang ada di kampung.

Pengalaman saya bertani dimulai dari pembersihan lahan secara sederhana yaitu digarit saja, kemudian benih timun ditebar. Ketika tanaman mulai tumbuh, pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan daun bambu yang dibakar atau abu sisa dari dapur. Hama tanah dikendalikan dengan menaburkan garam yang berukuran besar. Hal tersebut dilakukan sampai panen dan didapatkan hasil yang tebilang cukup karena saya tidak perlu membeli pupuk dan pestisida.

Kemudian dicoba dengan cara lain yakni, selain digarit tanah juga dicangkul dan dikored untuk membersihkan dari gangguan rumput atau tumbuhan pengganggu. Pemeliharaan dilakukan secara rutin sampai waktu panen tiba. Hasil yang didapat tanaman timun lebih cepat tumbuh dan berbuah. Setelah dihitung, hasil yang diperoleh lebih dari semula. Terasa ada perubahan hasil bila tanaman dipelihara dengan rutin meskipun tidak menggunakan bahan kimia.

Permasalahan hama muncul ketika cara bertani tanpa bahan kimia berubah menjadi bertani dengan bahan kimia mulai masuk dan dipergunakan. Contohnya adalah hama bodas (putih) pada tanaman jagung dan hama beureum (merah) yang muncul pada tanaman timun. Sebelum pupuk kimia digunakan, hama tersebut tidak pernah ada dan tidak menyerang dua tanaman budidaya tersebut.

Persoalan lain muncul karena harga pupuk semakin meningkat. Bila menggunakan tenaga kerja yang harus dibayar maka hasil pertanian semakin tidak memberi keuntungan bagi petani. Sehingga apabila seluruh pengeluaran petani diperhitungkan, usaha tani yang dilakukan pada jaman sekarang malah rugi.

Ternyata hama yang semakin banyak muncul dan mengganggu tanaman pertanian ini diakibatkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia. Akan tetapi, mengapa pupuk kimia dan obat-obat pengendali hama diproduksi teus? Biasanya, bila ada aturan yang melarang pembelian dan penggunaan bahan-bahan kimia karena semakin lama semakin merusak tanaman dan mencemari tanah, maka dengan sendirinya petani akan berhenti menggunakannya. Persoalan lainnya adalah harga bahan-bahan pertanian selalu meningkat dengan cepat. Contohnya, harga pupuk seperti Urea, TSP dan KCL selalu meningkat sehingga semakin lama semakin menjepit kondisi rumah tangga petani.

Ditulis ulang dari buku "Belajar dari Petani"
Penerbit: SPTN HPS-Lesman-Mitra Tani

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes